Waktu terus berputar tanpa pernah berhenti. Ia bahkan tak bisa
diperlambat ataupun dipercepat meskipun kita menginginkannya. Alhamdulillah
hari ini kita memasuki tahun baru Islam 1434 Hijriyah, sejak kemarin sore
hingga malam banyak umat muslim yang merayakan pergantian tahun dalam Islam ini
dengan berdoa bersama, berdzikir, pawai Muharram, sampai tabligh akbar, mulai
dari anak-anak, remaja, bapak-bapak hingga para orang tua semua. Dimulai dengan
membaca doa akhir tahun sebagai bahan renungan kita terhadap apa yang kita
jalani dan kita isi kehidupan ini selama satu tahun kebelakang. Setelah itu
membacakan doa awal tahun ba’da maghrib untuk memohon agar di tahun yang
sekarang kita diberi kekuatan untuk mengisinya dengan kebaikan dan terhindar
dari nafsu keburukan.
Ada ayat inspiratif yang bisa dijadikan bahan evaluasi diri atau
muhasabah transendental guna memperbaiki diri dalam setiap langkah kehidupan
yang sementara ini:“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Sejarah pergantian tahun dan hitungan tahun dalam Islam merupakan
rangkaian sejarah penyebaran agama Islam dan perjuangan kaum muslimin. Kalender
hijriyah adalah kalender Islam. Penanggalan yang juga dipakai standar dalam
penentuan waktu-waktu ibadah dalam Islam. Puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan,
haji pada bulan Dzulhijjah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, nama-nama bulan
ini telah dipakai di zaman Rasulullah SAW. Maka kita pun mendapati firman Allah
SWT terkait dengan perhitungan waktu dalam hijriyah ini:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS : At-Taubah
: 36)
Permasalahan muncul pada zaman kekhilafahan Umar bin Khatab. Saat
itu Abu Musa Al-Asy.ri sebagai salah seorang gubernur menulis surat kepada
Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada
tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Mendapatkan
masukan ini, khalifah Umar bin Khatab menggelar syura (musyawarah). Maka
dikumpulkanlah beberapa sahabat senior waktu itu. Diantaranya adalah Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair
bin Awwam, dan Thalhan bin Ubaidillah.
Dalam musyawarah itu muncullah beberapa usulan dimulainya tahun
Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad (kelahiran) Rasulullah SAW. Ada
juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad SAW menjadi Rasul. Dan
ada pula yang mengusulkan berdasarkan hijrah Rasulullah SAW. Usul terkahir ini
datang dari Ali bin Abi Thalib, dan usul inilah yang kemudian disepakati. Maka
ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya
Rasulullah SAW. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil
dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab
selama ini.
Betapa luar biasanya para pendahulu kita dari kalangan sahabat
radhiyallaahu ‘anhum. Mereka menyepakati bahwa kalender hijriyah dimulai dari
masa hijrah ke Madinah. Bukan dari waktu kelahiran Rasulullah, bukan dari
diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, bukan pula dari peristiwa lainnya.
Sesungguhnya, dalam penentuan awal kalender Islam ini terkandung hikmah besar.
Jika kelahiran Rasulullah, itu adalah skenario dari Allah. Demikian pula
diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, itu adalah kehendak Allah yang sulit
bagi kita untuk mengambil keteladanan dari peristiwa tersebut. Itu karunia, itu
rahmat. Bukan pelibatan ikhtiar dalam kapasitas yang besar.
Namun hijrah. Subhaanallah... betapapun ia adalah skenario Allah,
ia tetap saja sebuah proses manusiawi yang penuh dengan nilai perjuangan dan
semangat untuk diteladani generasi berikutnya. Kita tahu, bahwa dakwah
Rasulullah selama 13 tahun di Makkah tidak membuat negeri itu menjadi negeri
Islam. Bahkan yang terjadi, meskipun semakin banyak orang yang masuk Islam,
orang-orang kafir Quraisy makin gencar menghalangi dakwah. Berbagai bentuk
celaan dalam ribuan variannya telah dilancarkan. Siksaan kepada kaum muslimin
yang lemah juga dilakukan. Berbagai negosiasi dan tawaran ditempuh agar dakwah
berhenti. Sampai pemboikotan kaum muslimin hingga mereka terpaksa memakan
daun-daunan. Semuanya tidak menghentikan dakwah. Hingga kafir Quraisy pun
berencana membunuh Rasulullah.
Sementara itu, dari arah Yatsrib datang dukungan dakwah. Allah
memberikan pertolongan dari jalan yang lain, ternyata. Setelah baiat Aqabah I,
Rasulullah mengutus dai Islam Mush'ab bin Umair untuk mendakwahi penduduk
Yatsrib, mengajarkan Islam kepada mereka. Hasilnya, penduduk Yatsrib
berbondong-bondong masuk Islam. Mereka bahkan berbaiat melindungi Rasulullah
melalui baiat Aqabah II. Mereka juga mengabarkan bahwa Yatsrib telah menjadi
basis sosial yang siap ditempati kaum muslimin.
Maka, dua bulan lebih beberapa hari setelah Baiat Aqabah II itu,
kaum muslimin Makkah yang kemudian dikenal dengan nama Muhajirin telah hijrah
ke Yatsrib. Yang kemudian dinamakan Rasulullah sebagai Madinah. Kini tinggal
Rasulullah dan Abu Bakar yang masih berada di Makkah. Sampai kemudian datang
perintah Allah kepada keduanya untuk hijrah, tepat ketika mereka hendak
membunuh Rasulullah dengan mengepung rumah beliau.
Hijrah bukanlah perjuangan ringan. Bayangkanlah orang-orang yang
telah disiksa di kampung halamannya harus berpindah ke negeri lain yang tidak
dikenal. Yang belum jelas. Yang masih samar masa depan di sana. Di saat yang
sama ia harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa.
Seakan-akan mereka terusir. Terusir dari kampung halaman tanpa bekal dan tanpa
kejelasan masa depan. Namun karena iman, mereka menempuh perjuangan sulit dan
melelahkan itu.
Demikianlah, para sahabat rela meninggalkan kampung halaman dan
semua harta benda mereka. Bahkan rela mengambil resiko nyawa karena tidak ada
jaminan bahwa hijrah itu berjalan mulus tanpa halangan kafir Quraisy hingga
bisa dengan selamat di Madinah. Misalnya Ayash bin Abi Rabi'ah yang akhirnya
ditangkap oleh orang Quraisy, diikat dan dibawa kembali ke Makkah. Terlebih
hijrahnya Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung diburu oleh kafir Quraisy. Dan
disayembarakan dengan hadiah besar bagi siapa yang bisa mendapatkan Rasulullah
hidup atau mati. Tidak heran jika kaum muhajirin dipuji oleh Allah SWT dalam
Al-Qur'an dan dipersaksikan para shaadiquun:
“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman
dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang
yang benar”. (QS. Al-Hasyr: 8).
Hijrah secara bahasa berarti "tarku" (meninggalkan).
Dikatakan: hijrah ila syai' berarti "intiqal ilaihi 'an ghairihi"
(berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Sedangkan secara istilah hijrah
berarti "tarku man nahallaahu 'anhu": meninggalkan sesuatu yang
dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: "Muhajir (orang yang berhijrah) adalah
orang yang meninggalkan segala larangan Allah”. (HR. Bukhari)
Dengan demikian, hijrah secara maknawi terus relevan sampai kapan
pun. Bahwa nilai dan semangat hijrah harus kita bawa dalam kehidupan modern
ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah dari kekufuran
menuju Iman. Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan
menuju al-haq. Hijrah dari nifaq menuju istiqamah. Hijrah dari maksiat menuju
tha'at. Dan hijrah dari yang haram menuju yang halal.
::Bhayu Sulistiawan, S.Pd.I::
0 komentar:
Post a Comment